Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2019

QIAS DALAM KONTEK USHUL FIQH


  BELAJARISLAM.COM ~Dalam pembahasan hukum islam kita sering kali mendengar kata “qiyas”. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan qiyas itu sendiri, dan bagaimana cara menggunakannya.

baca juga: hukum mengajari al-quran kepada anak non muslim dalam islam.

  Qiyas merupakan salah satu perangkat yang digunakan untuk mendeteksi hukum-hukum Islam yang tidak ada dalil dalam (Al-Qur’an dan Hadis) secara jelas tentang hukum terhadap suatu permasalahan. Sangat banyak permasalahan-permasalahan baru yang tidak ada dalil secara langsung melalui Al-Qur’an dan Hadis namun, untuk memecahkan permasalah tersebut para ulama sangat banyak menggunakan qiyas. Hampir seluruh hukum Islam menyangkut permasalahan-permasalahan baru difatwakan dengan menggunakan qiyas.


  Seorang faqih harus memiliki pemahaman yang sangat luas tentang konsep qiyas ini, jika seorang faqih tidak menguasai konsep qiyas maka keilmuannya perlu diragukan. Beranjak dari hal tersebut maka penulis ingin menguraikan secara umum tentang qiyas.

  Qiyas merupakan menyamakan suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan perkara lain yang telah ada hukumnya dalam Al-Quran atau Hadis. Sebagaimana yang dapat kita pahami dalam ungkapan Syaikhul Islam Zakarial Al-Anshari dalam kitabnya yang bernama Lubbul Ushul halaman 110, berikut nasy kitabnya;

وهوحمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمه عند الحامل 

"Qiyas adalah menyamakan perkara yang ma’lum dengan perkara ma’lum lainnya. Karena perkara ma’lum yang pertama memiliki kesamaan illah hukumnya dengan perkara ma’lum kedua menurut orang yang menyamakannya."

  Dari penjelasan Syaikhul Islam Zakarial Al-Anshari tersebut dapat kita pahami bahwa dalam menerapkan konsep qiyas ini kita harus mengenal perkara yang akan diqiaskan (disamakan) atau dalam bahasa istilahnya sering disebut Maqis (perkara yang diqiaskan). Hal ini dapat kita pahami dari ungkapannya “ma’lum” yang artinnya diketahui secara pasti, artinya perkara yang belum ada hukumnya harus kita ketahui secara mendetil.
  Kemudian kita juga harus mengenal secara pasti perkara yang akan menjadi tumpuan pengqiasan atau dalam bahasa istilahnya dinamakan dengan Maqis Alaih (perkara yang diqiaskan kepadanya).
 Setelah kita mengenal kedua perkara tersebut kemudian kita juga harus mengenal apa yang dinamakan dengan illah (alasan penetapan hukum) yang terdapat pada maqis alaih. Dan kemudian kita mendeteksi apakah illah yang terdapat pada maqis alaih juga ada pada maqis, jika illah tersebut ada maka hukum pada maqis bisa disamakan dengan maqis alaih dan jika illah pada maqis alaih tidak ada dalam maqis maka hukum maqis tidak bisa disamakan dengan maqis alaih.
  Sebagai contoh, kita sepakat bahwa khamar adalah haram hukumnya dengan alasan meminum khamar dapat memberikan efek memabukkan, dan hukum meminum khamar telah ditetapkan yaitu haram karena ada dalil dalam Al-Qur’an langsung.
    Kemudian kita melihat kepada alcohol ,belum ada dasar hukumnya dalam Al-Qur’an kemudian setelah diselidiki ternyata ditemukan bahwa alcohol jika diminum juga akan memberi efek memabukkan. Maka dengan demikian bisa ditetapkan bahwa meminum alcohol juga hukumnya haram karena memabukkan dan keharaman alcohol tersebut berdasarkan qias, lebih jelasnya berdasarkan pengqiasan terhadap khamar.

     Dari contoh diatas kita bisa melihat mana yang dinamakan dengan maqis, maqis alaih dan illah. Tiga unsur tersebut dalam contoh diatas bisa kita lihat bahwa yang pertama maqis, yang mana maqis ini adalah perkara yang tidak ada dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadis, dalam contoh diatas maqisnya adalah alkohol. Dan yang kedua adalah maqis alaih, yang mana maqis alaih ini adalah perkara yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis,
    dalam contoh diatas maqis alaihnya adalah khamar. Kemudian yang ketiga adalah illah, sesuatu yang menjadi alasan dalam penetapan hukum pada maqis alaih, dalam kasus diatas illahnya adalah memabukkan.
  Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwa sebelum melakukan pengqiyasan seorang faqih harus mengenal tiga perkara tersebut baru kemudian mengqiyaskannya. 


 Tulisan diatas dapat pembaca temui dalam  Kitab Lubbul Ushul halaman 110,karangan syaikhul islam Zakaria Al - Ansari.

Wallahu A'lam Bisshawab.

Kamis, 30 Mei 2019

DALAM ISLAM HANYA 4 HARI DAN 4 MALAM YANG PALING BAIK, LIHAT APA SAJA....


belajar islam -Empat Hari terbaik dalam islam sebagaimana yang terdapat  Hasyiyah Bajuri ‘ala Fathul Qarib pada Halaman 210 adalah berdasarkan urutannya:

baca juga :Akibat yang ditimbulkan karena cepat keluar mesjid

✔pertama 👉 Hari-hari Arafah, karena merupakan hari berkumpulnya kebaikan, baik bagi orang yang berhaji atau tidak, seperti siapa saja orang yang berpuasa pada hari tersebut, maka Allah akan mengampuni segala dosa kecil yang tidak berhubungan dengan anak Adam.

✔ke 2  👉 Hari-Hari Jum’at, karena pada hari tersebut Allah mengampuni dosa seminggu belakangan, dosa yang tidak terampuni dengan shalat lima waktu.

baca juga: musibah, ini doa yang Nabi saw ajarkan.

✔ke 3 👉 Hari Raya idul adha, karena merupakan hari dimulainya memuliakan tamu Allah dengan berkurban.

✔ke 4 👉Hari Raya idul fitri, hari dimana seorang hamba bersih dari segala dosa setelah satu bulan penuh berpuasa, dengan meraih titel Muttaqin.

baca juga : percakapan Nabi dengan iblis

Empat Malam terbaik dalam islam berdasarkan urutannya

🔎1,Malam kelahiran Baginda Nabi Saw, karena pada malam tersebut dimulailah kebaikan dan manfaat yang sangat besar untuk perubahan umat islam di dunia.

🔎2 ,Malam Lailatul Qadar, karena pada malam tersebut lebih baik dari 1000 bulan.

🔎3, Malam Jum’at, karena pada malam tersebut pahala ibadah dilipat-gandakan.

🔎4, Malam Isra’ Mi’raj, karena pada malam tersbut baginda nabi naik ke sidratul muntaha mengambil shalat yang merupakan tiang agama.

baca juga : Ibnu hajar al-haitami menjawab tentang menyediakan makanan di hari kematian

  Empat malam tersebut merupakan yang terbaik pada hak kita umat nabi Saw,adapun pada hak baginda nabi Saw,malam paling baik adalah malam isr’ mi’raj, karena pada malam tersebut nabi bertemu dan melihat langsung Allah Swt, dengan mata kepala berdasarkan pendapat kuat. Adapun menurut Imam Ahmad bi Hambal (imam hambali)  Hari paling baik adalah hari jum’at melebihi hari Arafah, dan malam jum’at merupakan malam paling baik melebihi malam lailatul qadar.

Wallahua'lam.



Minggu, 26 Mei 2019

Mengajari Al-Quran Terhadap Anak Non Muslim,,bolehkah...?????


 Dalam kehidupan yang serba keberagaman, sosial menjadi salah satu hal yang harus diprioritaskan demi menjaga kerukunan dalam beragama, budaya kunjung

baca juga ; taukah anda diapa wanita peminang lelaki itu..???


mengunjung antara dua orang beda agama pun akrab terjadi.  Tak sebatas orang tua, anak-anak non Muslim pun dalam kesehariannya terkandang sering main kerumah disaat anak muslim sedang belajar Al quran.
  Lantas Apakah boleh terhadap guru atau orang tua dari anak yang Muslim mengajarkan Al-quran kepada anak Non Muslim...??????


jawabannya sebagaimana yang terdapat dalam kitab Majmu' Syarah Muhazzab Juzuk 2 pada halaman 71 Cetakan Darl Fikr..berikut nasnya;
قال أصحابنا : لا يمنع الكافر سماع القرآن ، ويمنع مس المصحف ، وهل يجوز تعليمه القرآن؟ ينظر إن لم يرج إسلامه لم يجز ، وإن رجي جاز في أصح الوجهين ، وبه قطع القاضي حسين ، ورجحه البغوي وغيره ، والثاني : لا يجوز ، كما لا يجوز بيعه المصحف وإن رجي إسلامه . قال البغوي : وحيث رآه معاندا لا يجوز تعليمه بحال ، وهل يمنع التعليم؟ فيه وجهان حكاهما المتولي والروياني . هما أصحهما يمنع

  Berkata Ashab dari Imam As-syafi'i : Jangan ditegah orang kafir untuk mendengar bacaan Al-Quran yang ditegah itu jika mereka menyentuh Al-Quran. Adapun tentang kebolehan mengajari Al Quran kepada mereka terdapat rincian sebagai berikut:

pertama ➡ Jika diharapkan anak tersebut masuk islam maka boleh mengajarinya Al-Quran
ke 2 ➡  Jika tidak diharapkan masuk islam maka tidak diperbolehkan mengajarinya.

Demikian,semoga bermanfaat.
wallahua'lam.

Jumat, 17 Mei 2019

CINTA INILAH TANDANYA


 

   Belajarislam.com ~Kebenaran tentang cinta dapat kita lihat dalam tiga bentuk perilaku seseorang.

PERTAMA;
Dia lebih memilih ucapan kekasihnya daripada ucapan orang lain.

baca juga : SYARAT SAH SHALAT


KE 2;
Dia lebih memilih duduk bersama kekasihnya daripada duduk bersama orang lain.

baca juga; Percakapan NABI MUHAMMAD dengan Iblis



KE ;3
Dia lebih memilih keridhaan kekasihnya daripada keridhaan orang lain.

Begitulah kata al-Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin.
  Artinya, seseorang yang mengaku mencintai Allah swt, pastilah dia tidak enggan untuk

baca juga: hukum tidur dalam mesjid

beribadah kepada Allah swt. seorang hamba yang malas beribadah bahkan malas menuntut ilmu maka dia bukanlah seseorang yang mencintai Allah. Cintanya itu bohong dan tidak bisa dibuktikan sama sekali.

kunjungi juga : Tentang islam

sekian,semoga sahabat semua bisa mengetahui tanda tanda cinta dalam diri seseorang..

silahkan bagikan artikel ini  biar yang lain juga mengetahui tanda cinta dari seseorang.

trimakasih sudah mengunjungi kami.

Kamis, 25 April 2019

KESUNGGUHAN (MUJAHADAH) DAPAT MENDIDIK JIWA

 
 


 Belajarislam.com ~Memang tidaklah mudah untuk menjadi seseorang yang hebat di dunia ini. Tapi tidak sepenuhnya sulit untuk dilakukan. Kita bisa memulai langkah menjadi hebat dengan cara memulainya dari hal-hal yang kecil, seperti kita menghargai orang-orang disekitarmu.
  Dalam hidup, pasti ada orang yang membencimu, Karena kamu berbeda, mungkin, karna kamu begitu istimewa. Jangan hiraukan mereka, teruslah melangkah.
  Terkadang bersifat seperti bocah lebih menyenangkan daripada bersifat sok dewasa. ya, itu terkadang, gak selalu..hhee

Think Positive, Be positive and Positive things will happen.


  Kerjakanlah yang kamu cintai, Cintailah yang kamu kerjakan, dan kehidupan akan mencintaimu. Kamu hanya harus menjaga siapa saja yang seharusnya benar-benar dicintai dalam kehidupan ini.
  Percaya saja, Tuhan menggenggam semua doa, lalu dilepaskan satu persatu di saat yang tepat. Apa yang sebenarnya kamu butuhkan, sejatinya hal itu hanya diketahui secara benar oleh orang lain. Apalagi, Allah swt yang Maha Mengetahui segalanya.
  Sebagaimana yang terdapat dalam kitab 'alim wal mutha'allim...siapa saja yang bersungguh-sungguh pada jalan kami,maka pasti kami bukakan jalan kami untuknya.
   Jadikanlah kehidupan ini untuk berhasil mengajarkanmu  untuk selalu berjuang. Jika kamu telah benar-benar berjuang, maka kamu akan mengerti dua hal, yaitu bertahan dan berkorban....

Insya Allah kita menjadi orang sukses didunia & akhirat... Amin.

Jumat, 12 April 2019

KALIMAT LAILAHAILLALLAH ( لا إله إلاّ الله) DALAM AL-QUR'AN


  Tataislam.blogspot.com  -Kalimat Lailahaillah atau kalimat tauhid merupakan kalimat agung yang diberikan pahala yang banyak bagi setiap yang menggerakkan lisannya dengan kalimat ini.
  Kalimat yang akan mendapat syafa'at dari baginda Rasulullah SAW bagi setiap pengamalnya dengan penuh keikhlasan, dan merupakan kunci surga ini banyak disebutkan dalam kitab suci Al Quranul Karim. Hal ini seperti perkataan Syaikh Fakhrurrazi didalam kitab Tanqihul qauli pada Halaman 3 Cetakan Haramain yang bahwasanya kalimat  لا إله إلاّ الله, di dalam Alquran pada 30 tempat.
  yang pertama terdapat dalam Surah
➡al-baqarah ada 2 kali penyebutan
➡ali imran ada 4 kali
➡annisa 1
➡al an'am ada 2
➡ar ra’du ada 1
➡thaha 3
➡al mukminin 1
➡qisasa 2
➡shafat 1
➡al mukmin 3
➡Muhammad 1
➡thaqabun 1
➡al a’raf 1
➡at taubah 2
➡yunus 1
➡hud 1
➡nahlu 1
➡al ambiya 2
➡ namlu 1
➡fatir 1
➡zumar 1
➡dukhan 1
➡hasyir 2
➡muzammil 1

   Demikianlah 30 kalimah tauhid yang tertera didalam Al-qur'an...semoga menjadi penambahan ilmu bagi kita semua untuk lebih sering membaca  لا إله إلاّ الله yang merupakan kalimat zikir yang paling baik diantara yang lain..

Jumat, 29 Maret 2019

RASULULLAH DIDALAM KUBUR


   Tataislam.blogspot.com -Jika ada yang bertanya Apakah Rasulullah SAW hidup di dalam kubur, dan seberapa besar peranannya dalam kehidupan kita....??????
JAWABANNYA ➡ seperti dalam Terjemahan A. Adib Amrullah dari kumpulan fatwa Syeikh Dr. Ali Jum’ah dalam al-Bayân al-Qawîm li Tashhîh Ba’d al-Mafahim dari halaman 10-12.
Pertama-tama kita harus membebaskan terma yang ada dalam permasalahan ini, karena kebanyakan masalah dapat terselesaikan hanya dengan membebaskan terma atau istilah (tertentu). Apabila yang dimaksud dengan hidupnya nabi adalah nabi belum berpindah dari alam dunia, maka pemahaman ini salah, karena Allah berfirman:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?” (Q.S. al-Anbiya’: 34)
“Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (Q.S. az-Zumar: 30).
Jadi, pemahaman yang benar adalah, Kanjeng Nabi telah berpindah dari alam dunia ini, tapi dengan keberpindahannya tidak memutuskan hubungan kita dengannya, karena nabi mempunyai kehidupan lain, yaitu kehidupannya para nabi. Sebagaimana tersurat dalam sabdanya:

“Hidupku lebih bagus untuk kalian karena kalian dapat membuat sesuatu yang baru dan dijadikan untuk kalian perkara yang baru, dan matiku pun lebih baik untuk kalian karena amal kalian akan diperlihatkan  kepadaku, jika aku melihat perbuatan baik aku akan bertahmid, dan ketika aku melihat amal yang buruk aku akan mintakan ampunan untuk kalian.”[1]

“Tak ada seorangpun yang memberikan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku sehingga aku menjawab salamnya.” [2]

Hadis di atas menunjukkan bahwa jasad dan ruh nabi yang mulia tetap berhubungan, karena tak akan ada zaman di mana orang tak lagi memberi salam kepada Rasulullah. Kehidupan nabi setelah berpindah alam berbeda dengan kehidupan manusia biasa setelah perpindahannya. Arwah manusia biasa tidak dikembalikan ke jasadnya berkali-kali. Maka, kehidupan manusia biasa setelah berpindah alam merupakan kehidupan yang tidak lengkap atau utuh (ruh dan jasad).

Jikapun ada hubungannya dengan kehidupan dunia seperti membalas salam dan lainnya yang telah ditetapkan oleh riwayat (hadis), tetap saja mereka tidak memiliki kehidupan yang lengkap. Namun, kehidupan para nabi setelah berpindah itu lebih sempurna dari kehidupan sebelum berpindah, dan lebih sempurna dari kehidupan makhluk lainnya setelah berpindah.

Disebutkan juga dalam riwayat shahih yang lain, bahwa para nabi tetap beribadah kepada Allah di dalam kuburnya, sebagaimana diriwayatkan dari Sayyidina Anas bin Malik ra:
“Aku melewati Musa di Katsib Ahmar pada malam ketika aku di isro’kan dan dia dalam keadaan menjalankan shalat dalam kuburnya.”[3]

Di riwayat lain dikatakan:
“Para nabi selalu hidup dalam kuburnya dan selalu melaksanakan shalatnya.”[4]

Jadi sangat jelas sekali, bahwasanya ruh dan jasad para nabi tetap tak terpisahkan walaupun beliau-beliau berada dalam kubur, jadi para nabi dalam kuburnya sama seperti pada masa hidupnya di dunia, kerena jasad para nabi sangat terjaga, bahkan Allah pun mengharamkan tanah untuk memakannya. Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad-jasad para nabi.” [5]
      Sangatlah jelas dari paparan di atas bahwasanya Rasulullah SAW hidup dalam kuburnya dengan ruh dan jasadnya. Allah menjaga jasadnya yang mulia seperti nabi-nabi lainnya. Beliau tetap beribadah pada Tuhannya dalam kubur dan tetap berhubungan dengan umatnya, memohonkan ampun untuk mereka, memberikan syafaat, membalas salam mereka dan yang lain dari itu.
 Jadi, jangan sekali-kali mengingkari bahwa nabi hidup dalam kuburnya, karena terlalu banyak riwayat yang menerangkan hal itu. Begitupun jangan mengingkari bahwa nabi telah berpindah dari kehidupan dunia (ke kehidupan lainnya), karena hal itu bertentangan dengan dalil al-Qur’an. Yang harus kita yakini adalah, beliau telah berpindah dari alam dunia, tapi tetap hidup dengan jasad dan ruh mulianya di dalam kuburnya, terus beribadah pada Tuhannya, menjawab salam orang yang berunjuk salam padanya, memberi syafa’at umatnya, memintakan ampun untuk mereka seperti yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

bisa dilihat kolom [ ..]..

[1] Diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar dalam Musnadnya, juz 5, hlm 308, Imam al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, juz 2, hlm 137, Imam al-Harits dalam Musnadnya, juz 2, hlm 884, dan Imam al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawâ’id juz 9, hlm 24. Di akhir hadis, Imam al-Haitsami mengatakan: “rijâluhu rijâl al-shahîh—para perawinya adalah perawi yang shahih.” (Banyak ulama menshahihkan sanad hadis ini, yaitu Imam al-Bazzar dalam Musnadnya, Imam Suyuti dalam al-Khashâ’ish Kubrâ, juz 2, hlm 281, dan lain-lainnya, -penterjemah)

[2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, juz 2, hlm 527, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, juz 2, hlm 218, Imam al-Thabrani dalam al-Ausath, juz 3, hlm 262, Imam al-Baihaqi dalam al-Kubra, juz 5, hlm 245 dan Shu’ab al-Iman, juz 2, hlm 217, Imam al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, juz 4, hlm 25, Imam al-Mundziri dalam al-Targhîb wa al-Tarhîb, juz 2, hlm 326, Imam al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawâ’id, juz 1, hlm 162. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bârî, juz 6, hlm 488, mengatakan bahwa para periwayat di hadis tersebut kuat (bisa dipercaya).

[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, juz 2, hlm 315, Imam Muslim dalam Shahihnya, juz 4, hlm 1845, Imam al-Nasa’i dalam al-Kubrâ, juz 1, hlm 419, Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya, juz 1, hlm 242, Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, juz 7, hlm 335, dan Imam al-Thabrani dalam al-Ausath, juz 8, hlm 13

[4] Diriwayatkan oleh Imam al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, juz 2, hlm 315, Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya, juz 6, hlm 147, Imam Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil, juz 2, hlm 327. Imam al-Haitsami menyebutkan hadis ini di Majma’ al-Zawâ’id, juz 8, hlm 211 dan mengatakan bahwa para perawi hadis ini dari jalur Imam Abu Ya’la kuat (terpercaya).

[5] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, juz 4, hlm 8, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, juz 1, hlm 275, Imam al-Nasai dalam Sunannya, juz 3, hlm 91, Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, juz 1, hlm 524, Imam al-Darimi dalam Sunannya, juz 1, hlm 445, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, juz 1, hlm 413 dan di akhir hadis dia mengatakan: hadis shahih dengan syarat Imam al-Bukhari meski tidak diriwayatkan olehnya, Imam al-Baihaqi dalam al-Shughrâ, juz 1, hlm 372 dan al-Kubrâ, juz 3, hlm 428

ALLAHHUMMA SHALLI 'ALA SAIYIDINA MUHAMMAD.