Jumat, 29 Maret 2019

RASULULLAH DIDALAM KUBUR


   Tataislam.blogspot.com -Jika ada yang bertanya Apakah Rasulullah SAW hidup di dalam kubur, dan seberapa besar peranannya dalam kehidupan kita....??????
JAWABANNYA ➡ seperti dalam Terjemahan A. Adib Amrullah dari kumpulan fatwa Syeikh Dr. Ali Jum’ah dalam al-Bayân al-Qawîm li Tashhîh Ba’d al-Mafahim dari halaman 10-12.
Pertama-tama kita harus membebaskan terma yang ada dalam permasalahan ini, karena kebanyakan masalah dapat terselesaikan hanya dengan membebaskan terma atau istilah (tertentu). Apabila yang dimaksud dengan hidupnya nabi adalah nabi belum berpindah dari alam dunia, maka pemahaman ini salah, karena Allah berfirman:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?” (Q.S. al-Anbiya’: 34)
“Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (Q.S. az-Zumar: 30).
Jadi, pemahaman yang benar adalah, Kanjeng Nabi telah berpindah dari alam dunia ini, tapi dengan keberpindahannya tidak memutuskan hubungan kita dengannya, karena nabi mempunyai kehidupan lain, yaitu kehidupannya para nabi. Sebagaimana tersurat dalam sabdanya:

“Hidupku lebih bagus untuk kalian karena kalian dapat membuat sesuatu yang baru dan dijadikan untuk kalian perkara yang baru, dan matiku pun lebih baik untuk kalian karena amal kalian akan diperlihatkan  kepadaku, jika aku melihat perbuatan baik aku akan bertahmid, dan ketika aku melihat amal yang buruk aku akan mintakan ampunan untuk kalian.”[1]

“Tak ada seorangpun yang memberikan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku sehingga aku menjawab salamnya.” [2]

Hadis di atas menunjukkan bahwa jasad dan ruh nabi yang mulia tetap berhubungan, karena tak akan ada zaman di mana orang tak lagi memberi salam kepada Rasulullah. Kehidupan nabi setelah berpindah alam berbeda dengan kehidupan manusia biasa setelah perpindahannya. Arwah manusia biasa tidak dikembalikan ke jasadnya berkali-kali. Maka, kehidupan manusia biasa setelah berpindah alam merupakan kehidupan yang tidak lengkap atau utuh (ruh dan jasad).

Jikapun ada hubungannya dengan kehidupan dunia seperti membalas salam dan lainnya yang telah ditetapkan oleh riwayat (hadis), tetap saja mereka tidak memiliki kehidupan yang lengkap. Namun, kehidupan para nabi setelah berpindah itu lebih sempurna dari kehidupan sebelum berpindah, dan lebih sempurna dari kehidupan makhluk lainnya setelah berpindah.

Disebutkan juga dalam riwayat shahih yang lain, bahwa para nabi tetap beribadah kepada Allah di dalam kuburnya, sebagaimana diriwayatkan dari Sayyidina Anas bin Malik ra:
“Aku melewati Musa di Katsib Ahmar pada malam ketika aku di isro’kan dan dia dalam keadaan menjalankan shalat dalam kuburnya.”[3]

Di riwayat lain dikatakan:
“Para nabi selalu hidup dalam kuburnya dan selalu melaksanakan shalatnya.”[4]

Jadi sangat jelas sekali, bahwasanya ruh dan jasad para nabi tetap tak terpisahkan walaupun beliau-beliau berada dalam kubur, jadi para nabi dalam kuburnya sama seperti pada masa hidupnya di dunia, kerena jasad para nabi sangat terjaga, bahkan Allah pun mengharamkan tanah untuk memakannya. Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad-jasad para nabi.” [5]
      Sangatlah jelas dari paparan di atas bahwasanya Rasulullah SAW hidup dalam kuburnya dengan ruh dan jasadnya. Allah menjaga jasadnya yang mulia seperti nabi-nabi lainnya. Beliau tetap beribadah pada Tuhannya dalam kubur dan tetap berhubungan dengan umatnya, memohonkan ampun untuk mereka, memberikan syafaat, membalas salam mereka dan yang lain dari itu.
 Jadi, jangan sekali-kali mengingkari bahwa nabi hidup dalam kuburnya, karena terlalu banyak riwayat yang menerangkan hal itu. Begitupun jangan mengingkari bahwa nabi telah berpindah dari kehidupan dunia (ke kehidupan lainnya), karena hal itu bertentangan dengan dalil al-Qur’an. Yang harus kita yakini adalah, beliau telah berpindah dari alam dunia, tapi tetap hidup dengan jasad dan ruh mulianya di dalam kuburnya, terus beribadah pada Tuhannya, menjawab salam orang yang berunjuk salam padanya, memberi syafa’at umatnya, memintakan ampun untuk mereka seperti yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

bisa dilihat kolom [ ..]..

[1] Diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar dalam Musnadnya, juz 5, hlm 308, Imam al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, juz 2, hlm 137, Imam al-Harits dalam Musnadnya, juz 2, hlm 884, dan Imam al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawâ’id juz 9, hlm 24. Di akhir hadis, Imam al-Haitsami mengatakan: “rijâluhu rijâl al-shahîh—para perawinya adalah perawi yang shahih.” (Banyak ulama menshahihkan sanad hadis ini, yaitu Imam al-Bazzar dalam Musnadnya, Imam Suyuti dalam al-Khashâ’ish Kubrâ, juz 2, hlm 281, dan lain-lainnya, -penterjemah)

[2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, juz 2, hlm 527, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, juz 2, hlm 218, Imam al-Thabrani dalam al-Ausath, juz 3, hlm 262, Imam al-Baihaqi dalam al-Kubra, juz 5, hlm 245 dan Shu’ab al-Iman, juz 2, hlm 217, Imam al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, juz 4, hlm 25, Imam al-Mundziri dalam al-Targhîb wa al-Tarhîb, juz 2, hlm 326, Imam al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawâ’id, juz 1, hlm 162. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bârî, juz 6, hlm 488, mengatakan bahwa para periwayat di hadis tersebut kuat (bisa dipercaya).

[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, juz 2, hlm 315, Imam Muslim dalam Shahihnya, juz 4, hlm 1845, Imam al-Nasa’i dalam al-Kubrâ, juz 1, hlm 419, Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya, juz 1, hlm 242, Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, juz 7, hlm 335, dan Imam al-Thabrani dalam al-Ausath, juz 8, hlm 13

[4] Diriwayatkan oleh Imam al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, juz 2, hlm 315, Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya, juz 6, hlm 147, Imam Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil, juz 2, hlm 327. Imam al-Haitsami menyebutkan hadis ini di Majma’ al-Zawâ’id, juz 8, hlm 211 dan mengatakan bahwa para perawi hadis ini dari jalur Imam Abu Ya’la kuat (terpercaya).

[5] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, juz 4, hlm 8, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, juz 1, hlm 275, Imam al-Nasai dalam Sunannya, juz 3, hlm 91, Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, juz 1, hlm 524, Imam al-Darimi dalam Sunannya, juz 1, hlm 445, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, juz 1, hlm 413 dan di akhir hadis dia mengatakan: hadis shahih dengan syarat Imam al-Bukhari meski tidak diriwayatkan olehnya, Imam al-Baihaqi dalam al-Shughrâ, juz 1, hlm 372 dan al-Kubrâ, juz 3, hlm 428

ALLAHHUMMA SHALLI 'ALA SAIYIDINA MUHAMMAD.

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon