Kamis, 20 September 2018

SUMUR ZAMZAM YANG KERING

 Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Kitab Shahih-nya seputar sumber air zamzam. Makkah belum berpenghuni saat Nabi Ibrahim dan sang istri (Siti Hajar) serta sang bayi (Nabi Ismail) mendarat di Makkah. Tanahnya berupa pegunungan yang tandus. Tak satu pun insan tinggal di sana kecuali keluarga Nabi Ibrahim as, dalam kedeadaan sedemikian rupaAllah SWTmenyuruh Nabi Ibrahim as guna meninggalkan istri dan putra mengarah ke Palestina.

Dengan berat hati beliau melangkahkan kaki meninggalkan mereka yang amat dicintainya. Beliau meninggalkan mereka di sebuah tempat yang paling sepi, sunyi, dan tak berpenghuni serta tidak berbekal air dan kurma yang tak memadai.

Ketika tahapan kaki Sang Nabi semakin jauh dan tak tampak lagi oleh istri dan putranyabeliau memalingkan wajah ke Baitullah sambil berdoa. Dengan mengusung kedua tangan setinggi-tingginya dan air mata yang mengairi pipi, Nabi Ibrahim as berdo’a sebagaimana yang sudah diabadikan dalam Firman Allah SWT QS Ibrahim (14): 37.

رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡ‍ِٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ ٣٧

“Ya Tuhan kami, bahwasannya aku telah menanam sebahagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki tanam-tanaman di sekitar rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) supaya mereka menegakkan shalat, maka jadikanlah hati beberapa manusia ingin kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Itulah doa Nabi Ibrahim as guna anak turunannya supaya senantiasa menjalankan sholat sampai-sampai berkah dan rezeki tetap mengalir untuk mereka yang tidak jarang kali istiqomah menjalankan peintah-Nya.

Siti Hajar terus-menerus menyusui Nabi Ismail hingga tak terasa perbekalan air dan kurma nyaris habis. Dan pada akhirnya, Siti Hajar telah tidak dapat menyusui lagi. Ketika air susu Siti Hajar kering, Nabi Ismail mulai kehausan dan terus menangis dengan keras. Siti Hajar dalam keadaan bingung, tidak tau apa yang mesti ia kerjakan.

Lalu, Siti Hajar naik mengarah ke Bukit Shafa sembari menoleh kekanan dan ke kiri seraya bercita-cita menemukan orang yang bisa membantunya. Akan tetapi, tidak terdapat satu pun insan yang terlihat di gurun yang tandus itu.

Kemudian, ia mengarah ke Bukit Marwah dengan asa yang sama pula. Ia berkata, “Seandainya aku terus berlari-lari kecil, aku tentu akan kecapaian. Dan sekiranya anakku meninggal, aku besok tak akan dapat melihatnya kembali.”

Akhirnya, pada putaran ke tujuh tatkala turun dari Bukit Marwah, Siti Hajar mendengar suara mengherankan dari arah Baitullah. Beliau mendekatinya. Ternyata, suara tersebut adalah malaikat yang sedang mengepakkan sayapnya sehingga terbit mata air yang paling jernih. Melihat air menyemprot sangat deras, Siti Hajar juga mendekatinya dan menciptakan gundukan di dekat air tersebut supaya tidak mengalir ke mana-mana.

Kemudian mata air tersebut disebut dengan zamzam. Lari-lari kecil yang dilaksanakan Siti Hajar dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah menjadi ritual haji yang disyariatkan oleh Nabi sampai ketika ini yang dinamakan dengan sa’i, yakni lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah sejumlah tujuh putaran.


ZAMZAM SEPENINGGALAN NABI ISMAIL

Salah satu kabilah dari Yaman yang dikenal dengan nama Jurhum datang dan bermukim di Makkah. Mereka senang bermukim di Makkah sebab ada air zam-zam yang bening dan segar yang sepanjang hidup mereka belum pernah mengejar air laksana ini. Sumur zam-zam sudah menjadi sumber penghidupan untuk mereka.

Namun keadaan tersebut membuat mereka lupa, bahkan berlaku zalim terhadap orang yang mengunjunginya. Mereka berani memakan harta yang mereka hadiahkan guna Baitullah dan merampas harta benda orang beda yang hidupdi sekitarnya. Padahal, pada waktu tersebut tidak diperkenankan mengerjakan segala format kedzaliman di dalamnya.

Seiring dengan perilaku dan sikap Kabilah Jurhum yang semakin brutal,perlahan-lahan sumber air sumur zamzam semakin mengecil. Sampai sumber air zamzam tertutup sama sekali. Ini adalah suatu balasan atas kebrutalan mereka.

Semua perilaku Jurhum mengakibatkan petaka untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga suatu saat terjadi pertempuran antara Jurhum dan Bani Khuza’ah yang selesai dengan terusirnya Kabilah Jurhum dari Baitullah. Seiring dengan berjalannya waktu, sumur zam-zam semakin tertutup dan tak terlihat.

PENGGALIAN ZAMZAM OLEH ABDUL MUTHALEB
Zamzam mulai digali pada masa Abdul Mutholib, kakek Rasululullah SAW. Penggalian itu terjadi sebelum kelahiran Nabi (Tahun Gajah) dan menurut mimpi beliau. Suatu saat beliau tidur.

Tiba-tiba terdapat perintah yang mengatakan, “Galilah thibah!” Beliau juga bertanya, “Apa thibah itu?” Setelah berulang kali terdapat suara yang memerintahkan, “Galilah zamzam!” Dia bertanya lagi, “Apakah itu zamzam?” Suara tersebut kembali terdengar, “Tidak akan berhenti selamanya dan tidak bakal terputus guna memberi penghidupan jamaah haji yang mulia.”

Ketika lokasi yang ditentukan telah jelas, beliau mengawali mencoba untuk menggalinya. Tempat zamzam yang diperlihatkan ternyata paling kering, seakan-akan tidak terdapat sumber air sebelumnya. Penggalian zamzam terus dilaksanakan walaupun tidak sedikit dari semua penggali yang meninggal dunia.

Melihat suasana kaumnya yang sangat terkendala dalam usaha menacri mata air zamzam, maka muncullah dalam hati Abdul Muthalib guna bernadzar, “Seandainya penggalian sumur zamzam bisa sempurna dan mata air akan keluar, andai aku dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki, maka aku bakal menyembelih salah satu dari mereka.”

Ternyata, Allah SWT mengabulkan nadzarnya. Dari enam perempuan yang dinikahi oleh Abdul Muthalib terlahirlah sepuluh anak laki-laki, yakni Al-Haris, Abdullah, Abu Thalib, Az-Zubair, Al-Abbas, Dhoror, Abu Lahab, Al-Ghaidaq, Hamzah, dan Al-Muqawwam.

Kehadiran sepuluh putranya menjadikan ilham baru untuk Abdul Muthalib untuk mengawali penggalian sumur zamzam yang sempat terhenti. Dengan izin Allah SWT, penggalian sumur zamzam berhasil. Kemudian untuk mengisi nadzarnya, Abdul Muthalib mengundi salah satu sepuluh putranya. Setelah berkali-kali dilakukan, ternyata undian tetap jatuh pada Abdullah, putra kesayangannya. Abdul Muthalib mengundang Bani Makhzum dan semua pemimpin kabilah Quraisy.

Ibnu Hisyam menyatakan dalam bukunya “Sirah Nabi”, “Ketika Abdul Muthalib membawa Abdullah guna disembelih, Al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum mengatakan:

“Demi Allah, tidak boleh sekali-kali anda menyembelihnya hingga selamanya sampai anda dapat menghindarinya. Apabila kita dapat menggantinya dengan harta, maka lebih baik anda menggantinya.”

Orang Quraisy tetap tidak setuju dengan teknik mengorbankan saah satu putra beliau. Mereka khawatir besok hal ini akan menjadi kelaziman orang Arab dan orang Makkah.

Setelah sekian lama berdebat, kesudahannya Abdul Muthalib berdoa kepada Allah. Dan akhirnya ditetapkan bahwa ia menyembelih seratus ekor unta sebagai ganti nadzarnya. Pelanggaran nadzar ini dinamakan dengan diyat (denda). Dan itulah denda kesatu kali kemudian diputuskan dalam syariat Islam sebagai dalam pelanggaran tertentu di Tanah Haram.

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon